Kamis, 06 November 2008
Dari Rock Negeri Samurai
Nanimo nai…
Anata o aisuru igai…
Sepenggal bait berbahasa Jepang itu tak hadir di antara denting sangen dan koto, kecapi khas Negeri para Samurai. Ini bukan subayashi, gelaran musik tradisional Jepang yang lazim hadir dalam khidmat dan lampu temaram.
Naze kounatte shimattano…
Hitorikiri…
Kono Mune Ni juga tak meluncur dari bibir seorang penyanyi berkostum kimono, tetapi rocker berpenampilan khas Harajuku. Dibonceng raungan gitar merek Fender Strat tahun 1973, diingar-bingari sound effect Boss GT-8, Kono Mune Ni bagai merobek udara sebuah SMU di Surabaya, lima bulan silam. Ini pentas nihon no rokku, Bung! Musik rock khas Jepang.
Dalam diri Iman Taufik Rachman, 26 tahun, segala atribut berbau Negeri Matahari Terbit bagai menitis–dari kostum, lirik lagu, dan genre musik. Iman, pelantun tembang Kono Mune Ni tadi, adalah sesungguhnya pemuda kelahiran Jakarta. Demikian pula Swara Wima Yoga (bass), Sony Ismail Robbayani (gitar) dan Anton Rudy Kelces (drum), yang lahir dan dibesarkan di tanah Jawa.
Kuartet pemuda ini tergabung dalam J-Rocks sejak setengah dasawarsa silam, grup band pengusung aliran musik rock Jepang di Indonesia. Dan, mereka menunjukkan satu hal: Musik Jepang tumbuh dan (akan) terus berkembang di sini.
Impor musik rock khas Jepang alias Japanese Rock (J-Rock) terutama dimulai pada dasawarsa 1990-an lewat banjir film animasi (anime) Jepang. Bukan cuma ceritanya yang digilai, anime digandrungi pula di Indonesia lantaran musik soundtrack-nya yang ampuh membikin dagu mengangguk-angguk.
Kebanyakan musik pengiring film kartun ini adalah lagu-lagu bergenre rock dan disuarakan oleh band-band rock asal Negeri Sakura. Ada tembang-tembang bersemangat grup band L’arc en ciel (dikenal pula sebagai Laruku) di serial Samurai X, misalnya. Atau ada pula komposisi speed rock karya TM Network pada serial City Hunter dan Gundam.
Pada paruh kedua dasawarsa 1990-an dimulailah musim semi band-band lokal pelantun J-Rock di Indonesia. Lagu-lagu bergenre rock Jepang ini pun mulai hijrah ke atas panggung dari semula soundtrack film di layar kaca–meski masih dalam lingkup terbatas. Di Jakarta ada grup band Wasabi, Jetto, Japanese Heroes, Jai-ko, Kyuuto, atau Melody Maker. Di Bandung ada Lucifer dan Sound Wave.
Perkembangan berikutnya: Para band penggila J-Rock ini mulai mencipta karya-karya sendiri, tidak semata membeo soundtrack-soundtrack film. Dan, yang musykil terhindarkan, musik mereka dipengaruhi band-band pujaan mereka di Jepang sono. Wima, pembetot bass J-Rocks, misalnya, mengaku musikalitasnya grup bandnya sedikit banyak kecipratan gaya Laruku.
Meski begitu, J-Rocks menampik meniru abis band idolanya itu. ”Kami menggarap musik dengan ciri khas kami sendiri. Sedih juga kalau ada yang bilang kami menjiplak,” sesalnya. Yang jelas, dari lusinan band-band pengusung aliran J-Rock di negeri ini, hanya J-Rocks yang berhasil menembus industri rekaman.
Berbeda dengan rock Barat, Japanese rock (J-Rock) sarat dengan suntikan not-not manis seperti mayor 7 dan minor 7, membikin lagu-lagu J-Rock cenderung berirama ceria. Berbeda dengan rock dari negeri asalnya, Amerika dan Eropa, rock Jepang juga tak mengenal pakem. Jadi, kata Anton, penggebuk drum J-Rocks,’Sah-sah saja kita menyisipkan unsur musik lain. Bisa pop, ska, atau swing sekalipun.”
Demikian pula yang dilakoni J-Rocks. Pada album kedua, Spirit (2007), J-Rocks mencoba meramu pelbagai beat dan genre musik seperti rock n roll (Juwita Hati) bahkan waltz/victorian (Tersesal). Meski musiknya dipengaruhi oleh band Jepang Laruku, toh J-Rocks turut mengadopsi musikalitas Muse–band beraliran brit pop Barat.
Lain kata, J-Rocks–seperti juga lusinan band lokal pengusung J-Rock–tak ingin dan tak harus mengkotak-kotakkan musiknya ke dalam genre tertentu, meski di Jepang J-Rock berinduk pada genre arus utama seperti visual kei, shibuya kei, shimokita kei, hingga stance punks. J-Rocks, kata Wima, ingin memainkan musik apa saja yang mereka sukai,”Namun tetap berlandaskan rock Jepang.” Inilah kelebihan Japanese Rock: Memberi ruang besar bagi improvisasi.
Dan, musik bernada mayor 7 dan minor 7 ini terhitung lumayan laris di negeri ini. Pecinta J-Rock tersebar di komunitas-komunitas pecinta budaya pop Jepang. Salah satunya tergabung di mailing list Dare Darou yang dianggotai lebih dari seribu orang. Berkat keluwesan musik J-Rock berkawin silang dengan jazz, blues, rock n roll, ska, dan lain-lain, masa depan musik ini diprediksikan bakal cerah.
Musik-musik yang memanjakan telinga, kata Anton, drummer J-Rocks, bakal terus memperoleh tempat di hati penggemar. Itu terbukti tatkala beberapa waktu lalu J-Rocks manggung di daerah Muara Teweh, di pedalaman Kalimantan. ”Penonton datang bejibun,” ujarnya. Tentu saja mereka bukan murni berasal dari penggemar Japanese Rock.
Satu hal lagi: Kostum grup band pengusung J-Rock kerap amat nyentrik. Berkiblat pada gaya khas Harajuku–surga mode di Tokyo–aksi panggung musisi J-Rock tak pelak merupakan hiburan segar bagi bola mata.
Kepak Sayap Nihon No Rokku
1957
Tonggak kelahiran musik rock Jepang. Bersamaan dengan puncak kemashyuran rockabilly, salah satu gaya rock n roll di negeri itu. Rockabilly dipelopori Masaaki Hirao, Mickey Curtis, dan Keijiro Yamashita. Muncul demam ereki, rock dengan gitar elektrik.
1964
Musik ereki mencapai puncak popularitas, terutama lewat kegemilangan The Astronauts dan The Ventures. Grup band ereki mulai memainkan lagu-lagu berirama Liverpool sound menandai gerakan British Invasion.
1970-an
Di daerah Kansai muncul aliran blues rock mirip southern rock. Di Okinawa terbit Okinawan rock yang mengekor Deep Purple. Di Fukuoka muncul Son House perintis Mentai Rock. Band Carol didirikan oleh ‘tiga nama besar dalam rock Jepang’ (rokku gosanke) membikin rock diterima luas masyarakat Negeri Sakura.
1980-an
Jepang diramaikan grup musik dari pelbagai aliran: Punk rock, new wave, techno-pop, hard rock, dan heavy metal. Rekaman lewat jalur indie berkembang pesat. Terjadi band boom di Jepang. Pada 1989, X Japan memulai debut heavy metal di Jepang. Tak lama, muncul gerakan shibuya kei yang memadukan unsur musik jazz, fusion, dan musik tradisional Jepang.
1990-an
Puncak ketenaran band visual kei. Lagu-lagu jenis ini marak digunakan sebagai soundtrack anime dan video game, menyulut popularitas band Jepang di mancanegara termasuk Indonesia.
Pada 1998 muncul band pengusung J-Rock, Dorayaki, di Institut Kesenian Jakarta. Sejak 1999 ke atas, band-band J-Rock lokal bermekaran. Di antaranya Wasabi, Jetto, Japanese Heroes, Jai-ko, Kyuuto, Melody Maker, Lucifer atau Sound Wave di Jakarta dan Bandung.
2001- sekarang
Tumbuh subur grup bergenre melodic hardcore dan emocore seperti Asian Kung-Fu Generation. Muncul pula genre Seishun Punk. Grup Bump of Chicken dan Sambo Master menjadi grup rock aliran utama. Adapula Rize, Orange Range, HY, dan Dragon Ash yang tergolong genre mixture rock. Album band Laruku pada 2004 laris 25 ribu keping di Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar